Rabu, 12 Maret 2014

curhat tukang foto . baca nih --->



TARIF FOTO Rp500,- KOK DIBILANG MAHAL ?
Seorang tukang foto curhat begini :
Kemajuan teknologi kamera telah membuat makin banyak orang punya kamera dan hampir setiap orang "bisa memotret".
Itu kalau "memotret" hanya diartikan sebagai kegiatan memencet tombol shutter untuk menghasilkan gambar.
Di jaman sekarang ini mestinya profesi tukang foto bukan lagi diukur dari "kepemilikan kamera" dan "tenaga jeprat-jepret"nya, melainkan diukur dari kreatifitas IDEnya.
Menggunakan kamera foto untuk meliput acara (pengantin, ulang tahun, tontonan, reuni, dsb.) sesungguhnya bagi seorang tukang foto jaman sekarang adalah soal kreatifitas IDE, dan IDE itu mestinya dihargai "mahal" (ingat kisah "Telur Columbus" ?).
Soal "teknik menjepret" adalah soal di masa silam, karena di masa kini anak-kecil pun bisa disuruh kalau hanya untuk "menjepret" saja. Tinggal setel kamera pada mode "Auto", jepret, jadilah gambarnya.
Kemajuan teknologi kamera dan perkembangan paradigma fotografi sayang sekali belum berbanding lurus dengan peningkatan apresiasi masyarakat (Indonesia non kota besar) terhadap profesi tukang foto.
Masih banyak penyelenggara acara yang minta liputan foto "asal ada gambarnya", soal IDE dan kualitas foto "tidak penting".
Pada banyak hajatan pengantin, tidak jarang pihak keluarga "melecehkan" profesi tukang foto hanya sebagai "tukang pencet tombol shutter".
Ketika tawar-menawar harga paket liputan, tidak jarang pihak keluarga bilang "Sebenarnya adik kami, keponakan kami, om kami semua punya kamera dan juga pinter kalau cuma motret, tapi kan mereka harus ikut upacara adat, pakai pakaian tradisional, tidak bisa gesit kalau meliput acara, maka kami panggil tukang foto." ...
Ilustrasi tersebut menempatkan tukang foto hanya sebagai "pengganti kaki dan jari tangan pemencet tombol shutter dari si adik, si keponakan, si om".
Seolah-olah tukang foto hanya dipinjam kakinya dan jari tangannya, alias dianggap sekedar tubuh tanpa kepala, tanpa otak, tanpa IDE yang harus dihargai ("ditarifi") lebih tinggi daripada harga/tarif keringat yang mengucur di kakinya dan di jari tangannya.
Peran sebagai sekedar pengganti "si adik, si keponakan, si om" yang KATANYA "juga pinter kalau cuma motret" seringkali membuat tukang foto tidak berdaya untuk mempertahankan harga-diri dan IDEALISMEnya.
Curhat tukang foto itu berlanjut "lebih pribadi", begini :
Saya sedih kalau paket motret plus cetak 40 lembar 4R Rp250ribu saja dibilang mahal ...
Hitunglah, 250ribu bagi 40 = Rp6250 ... ongkos cetak 4R Rp1300 ... 6250 - 1300 = Rp4950 ...
Berangkat-pulang motret butuh bensin ...
Pasang kabel + lampu-lampu + background butuh tenaga (ada harganya kan ?),
Setting kabel harus rapi dan aman maka butuh lakban dan isolasi (harus beli kan ?) ...
Mondar-mandir jungkir-balik berkeringat motret sepanjang acara (ada harga "tenaga fisik"nya kan ?) ...
Tidak jarang harus bawa kru/asisten (harus diberi honorarium kan ?) ...
Menghitung penyusutan harga kamera & alat-alat plus antisipasi ongkos servis jika alat rusak (rasional kan ?) ...
Editing foto butuh ditemani rokok dan camilan (beli juga kan ?) ...
Klien masih diberi bonus beberapa lembar 10R+an (harga cetaknya harus dibayar juga kan ?) ...
DVD file foto dikemas cantik (ada ongkos produksinya kan ?) ...
Listrik harus dibayar (jelas kan ?) ...
Back up simpanan data harus dibikin (DVD lain, flashdisk, hardisk eksternal, ada harganya kan ?) ...
Anak sekolah dan aneka keperluan rumah-tangga harus dibiayai (tukang foto itu hidup dari memotret kan ?) ...
Nah, kalau semua itu anggap saja total jendralnya Rp4450, lantas IDEku (MIKIR bagaimana caranya supaya potretnya bagus-bagus) cuma kuhargai Rp500 (lima ratus rupiah) saja kok masih dibilang mahal, itu keterlaluan nggak ? ...
Curhat si tukang foto ditutup begini :
Pada akhirnya semua itu kembali pada pribadi masing-masing tukang foto ...
Mau ikut berjuang di barisan yang menjunjung tinggi IDEALISME dan KEHORMATAN PROFESI ataukah ikut arus salah-kaprah yang masih berlaku di masyarakat ? ...
Mau ikut melakukan "pendidikan apresiasi fotografi kepada masyarakat" ataukah merelakan-diri terus-menerus menjadi korban ketidakfahaman masyarakat ? ...
Mau ikut membuktikan bahwa tukang foto itu manusia-utuh yang punya kepala berisi otak dan IDE kreatif ataukah rela terus-menerus dianggap sekedar sebagai "tukang pencet tombol shutter" ? ...
Mau ikut memperjuangkan "harga IDE" ataukah tetap tidur pulas menikmati sekedar "harga keringat fisik" ? ...
Tahun 2014 masih pasang tarif Rp125ribu per "rol" (40 gambar) 4R ? Itu tarif sepuluh tahun silam Broooooo ... ayo bangun, banguuun, banguuuuuunnn ... :D